Teruntuk CEO di rumah yang sedang berulangtahun: Tanpamu mungkin aku sering tersesat. Enggan mencuci kaos kaki, salah menakar racikan kopi, terlalu gosong membakar roti, and the blah.. and the blah. Perlu kau ketahui, Your listening skill is a work of art! Caramu menganalisa sungguh presisi, khususon meladeni tuturan cerita perjalanan suamimu yang nyentrik ini. Hari ini kamu tak perlu repot bebersih rumah. Yaiyalaaaahhh.. lha wong lagi halan-halan liburan! Happy birthday to my favorite superhero! Selalu sehat, bahagia, dilimpahkan penuh energi kebaikan untuk terus memberi inspirasi baik. Aamiin. Terus berkarya, Mon Bojo! ❤️
Teruntuk CEO di rumah yang sedang berulangtahun: Tanpamu mungkin aku sering tersesat. Enggan mencuci kaos kaki, salah menakar racikan kopi, terlalu gosong membakar roti, and the blah.. and the blah. Perlu kau ketahui, Your listening skill is a work of art! Caramu menganalisa sungguh presisi, khususon meladeni tuturan cerita perjalanan suamimu yang nyentrik ini. Hari ini kamu tak perlu repot bebersih rumah. Yaiyalaaaahhh.. lha wong lagi halan-halan liburan! Happy birthday to my favorite superhero! Selalu sehat, bahagia, dilimpahkan penuh energi kebaikan untuk terus memberi inspirasi baik. Aamiin. Terus berkarya, Mon Bojo! ❤️
Teruntuk CEO di rumah yang sedang berulangtahun: Tanpamu mungkin aku sering tersesat. Enggan mencuci kaos kaki, salah menakar racikan kopi, terlalu gosong membakar roti, and the blah.. and the blah. Perlu kau ketahui, Your listening skill is a work of art! Caramu menganalisa sungguh presisi, khususon meladeni tuturan cerita perjalanan suamimu yang nyentrik ini. Hari ini kamu tak perlu repot bebersih rumah. Yaiyalaaaahhh.. lha wong lagi halan-halan liburan! Happy birthday to my favorite superhero! Selalu sehat, bahagia, dilimpahkan penuh energi kebaikan untuk terus memberi inspirasi baik. Aamiin. Terus berkarya, Mon Bojo! ❤️
Teruntuk CEO di rumah yang sedang berulangtahun: Tanpamu mungkin aku sering tersesat. Enggan mencuci kaos kaki, salah menakar racikan kopi, terlalu gosong membakar roti, and the blah.. and the blah. Perlu kau ketahui, Your listening skill is a work of art! Caramu menganalisa sungguh presisi, khususon meladeni tuturan cerita perjalanan suamimu yang nyentrik ini. Hari ini kamu tak perlu repot bebersih rumah. Yaiyalaaaahhh.. lha wong lagi halan-halan liburan! Happy birthday to my favorite superhero! Selalu sehat, bahagia, dilimpahkan penuh energi kebaikan untuk terus memberi inspirasi baik. Aamiin. Terus berkarya, Mon Bojo! ❤️
Teruntuk CEO di rumah yang sedang berulangtahun: Tanpamu mungkin aku sering tersesat. Enggan mencuci kaos kaki, salah menakar racikan kopi, terlalu gosong membakar roti, and the blah.. and the blah. Perlu kau ketahui, Your listening skill is a work of art! Caramu menganalisa sungguh presisi, khususon meladeni tuturan cerita perjalanan suamimu yang nyentrik ini. Hari ini kamu tak perlu repot bebersih rumah. Yaiyalaaaahhh.. lha wong lagi halan-halan liburan! Happy birthday to my favorite superhero! Selalu sehat, bahagia, dilimpahkan penuh energi kebaikan untuk terus memberi inspirasi baik. Aamiin. Terus berkarya, Mon Bojo! ❤️
Teruntuk CEO di rumah yang sedang berulangtahun: Tanpamu mungkin aku sering tersesat. Enggan mencuci kaos kaki, salah menakar racikan kopi, terlalu gosong membakar roti, and the blah.. and the blah. Perlu kau ketahui, Your listening skill is a work of art! Caramu menganalisa sungguh presisi, khususon meladeni tuturan cerita perjalanan suamimu yang nyentrik ini. Hari ini kamu tak perlu repot bebersih rumah. Yaiyalaaaahhh.. lha wong lagi halan-halan liburan! Happy birthday to my favorite superhero! Selalu sehat, bahagia, dilimpahkan penuh energi kebaikan untuk terus memberi inspirasi baik. Aamiin. Terus berkarya, Mon Bojo! ❤️
Teruntuk CEO di rumah yang sedang berulangtahun: Tanpamu mungkin aku sering tersesat. Enggan mencuci kaos kaki, salah menakar racikan kopi, terlalu gosong membakar roti, and the blah.. and the blah. Perlu kau ketahui, Your listening skill is a work of art! Caramu menganalisa sungguh presisi, khususon meladeni tuturan cerita perjalanan suamimu yang nyentrik ini. Hari ini kamu tak perlu repot bebersih rumah. Yaiyalaaaahhh.. lha wong lagi halan-halan liburan! Happy birthday to my favorite superhero! Selalu sehat, bahagia, dilimpahkan penuh energi kebaikan untuk terus memberi inspirasi baik. Aamiin. Terus berkarya, Mon Bojo! ❤️
Teruntuk CEO di rumah yang sedang berulangtahun: Tanpamu mungkin aku sering tersesat. Enggan mencuci kaos kaki, salah menakar racikan kopi, terlalu gosong membakar roti, and the blah.. and the blah. Perlu kau ketahui, Your listening skill is a work of art! Caramu menganalisa sungguh presisi, khususon meladeni tuturan cerita perjalanan suamimu yang nyentrik ini. Hari ini kamu tak perlu repot bebersih rumah. Yaiyalaaaahhh.. lha wong lagi halan-halan liburan! Happy birthday to my favorite superhero! Selalu sehat, bahagia, dilimpahkan penuh energi kebaikan untuk terus memberi inspirasi baik. Aamiin. Terus berkarya, Mon Bojo! ❤️
Teruntuk CEO di rumah yang sedang berulangtahun: Tanpamu mungkin aku sering tersesat. Enggan mencuci kaos kaki, salah menakar racikan kopi, terlalu gosong membakar roti, and the blah.. and the blah. Perlu kau ketahui, Your listening skill is a work of art! Caramu menganalisa sungguh presisi, khususon meladeni tuturan cerita perjalanan suamimu yang nyentrik ini. Hari ini kamu tak perlu repot bebersih rumah. Yaiyalaaaahhh.. lha wong lagi halan-halan liburan! Happy birthday to my favorite superhero! Selalu sehat, bahagia, dilimpahkan penuh energi kebaikan untuk terus memberi inspirasi baik. Aamiin. Terus berkarya, Mon Bojo! ❤️
: (hahd-zah-bay) — Ketika membuka file lama perjalanan ke belahan timur Afrika medio 2018, jadi teringat jurnal Jared Diamond perihal kesamaan laku kearifan lokal yang dimiliki suku adat seluruh dunia. Dalam kesehariannya, suku Hadzabe di kawasan Danau Eyasi, utara Arusha, Tanzania ini hidup dengan cara berburu & mengumpulkan hasil bumi. Daging dari hasil buruan, umbi-umbian, madu serta bebuahan menjadi salah sekian hasil bumi yang dikonsumsi. Tetapi mereka tak memiliki ladang, ternak dan tempat tinggal yang tetap. Kendati mempraktikkan pola hidup yang berpindah atau nomadik untuk bertahan hidup, namun mereka konsisten menerapkan sistem keberlanjutan sumber daya alamnya. Tradisi hidup yang tak bergantung pada budidaya pertanian dan berternak ini bagi mereka bertujuan agar tak menghabiskan sumber daya alam di suatu wilayah. Diolah secukupnya. Begitupun dengan satwa buruan. Ia dibiarkan hidup liar di habitatnya. Persis seperti kebanyakan suku-suku adat di seluruh dunia yang membagi fungsi hutan atau lahan: sebagai dapur pengolahan, hutan pemujaan, lumbung dan lahan yang dibiarkan lestari. Suku berpopulasi kurang lebih seribu manusia yang masih tinggal di tanah warisan leluhurnya ini menggunakan bahasa lokal Hadzane yang unik, yakni lidah yang berdecak, letupan bibir plus bercampur siulan. Boleh dikata mereka adalah suku-suku pionir di wilayah timur benuanya George Weah. Namun kini berbalik, ragam tantangan mengintai suku Hadzabe. Fakta bahwa sikap ramah mereka pada alam justru malah mengikis teritori tanah air warisan leluhur, akibat persoalan tekanan populasi global ditambah peliknya kebijakan alih fungsi lahan yang bagi sebagian kalangan dianggap sebagai magnet yang elok agar dapur cuan terus mengebul. Persoalan yang kerap mengancam kawan-kawan masyarakat adat dimanapun. Terdengar seperti deja vu? Menukil jurnal yang pernah dituliskan Jared, Yuval, David Attenborough, dkk. bahwasanya praktik hidup keberlanjutan yang memprioritaskan sumber daya alam mutlak menjadi kunci bagi sumber penghidupan kini dan nanti yang (seharusnya) lestari. Terlebih di Nusantara yang katanya tanah surga. Rahayu🌿
: (hahd-zah-bay) — Ketika membuka file lama perjalanan ke belahan timur Afrika medio 2018, jadi teringat jurnal Jared Diamond perihal kesamaan laku kearifan lokal yang dimiliki suku adat seluruh dunia. Dalam kesehariannya, suku Hadzabe di kawasan Danau Eyasi, utara Arusha, Tanzania ini hidup dengan cara berburu & mengumpulkan hasil bumi. Daging dari hasil buruan, umbi-umbian, madu serta bebuahan menjadi salah sekian hasil bumi yang dikonsumsi. Tetapi mereka tak memiliki ladang, ternak dan tempat tinggal yang tetap. Kendati mempraktikkan pola hidup yang berpindah atau nomadik untuk bertahan hidup, namun mereka konsisten menerapkan sistem keberlanjutan sumber daya alamnya. Tradisi hidup yang tak bergantung pada budidaya pertanian dan berternak ini bagi mereka bertujuan agar tak menghabiskan sumber daya alam di suatu wilayah. Diolah secukupnya. Begitupun dengan satwa buruan. Ia dibiarkan hidup liar di habitatnya. Persis seperti kebanyakan suku-suku adat di seluruh dunia yang membagi fungsi hutan atau lahan: sebagai dapur pengolahan, hutan pemujaan, lumbung dan lahan yang dibiarkan lestari. Suku berpopulasi kurang lebih seribu manusia yang masih tinggal di tanah warisan leluhurnya ini menggunakan bahasa lokal Hadzane yang unik, yakni lidah yang berdecak, letupan bibir plus bercampur siulan. Boleh dikata mereka adalah suku-suku pionir di wilayah timur benuanya George Weah. Namun kini berbalik, ragam tantangan mengintai suku Hadzabe. Fakta bahwa sikap ramah mereka pada alam justru malah mengikis teritori tanah air warisan leluhur, akibat persoalan tekanan populasi global ditambah peliknya kebijakan alih fungsi lahan yang bagi sebagian kalangan dianggap sebagai magnet yang elok agar dapur cuan terus mengebul. Persoalan yang kerap mengancam kawan-kawan masyarakat adat dimanapun. Terdengar seperti deja vu? Menukil jurnal yang pernah dituliskan Jared, Yuval, David Attenborough, dkk. bahwasanya praktik hidup keberlanjutan yang memprioritaskan sumber daya alam mutlak menjadi kunci bagi sumber penghidupan kini dan nanti yang (seharusnya) lestari. Terlebih di Nusantara yang katanya tanah surga. Rahayu🌿
: (hahd-zah-bay) — Ketika membuka file lama perjalanan ke belahan timur Afrika medio 2018, jadi teringat jurnal Jared Diamond perihal kesamaan laku kearifan lokal yang dimiliki suku adat seluruh dunia. Dalam kesehariannya, suku Hadzabe di kawasan Danau Eyasi, utara Arusha, Tanzania ini hidup dengan cara berburu & mengumpulkan hasil bumi. Daging dari hasil buruan, umbi-umbian, madu serta bebuahan menjadi salah sekian hasil bumi yang dikonsumsi. Tetapi mereka tak memiliki ladang, ternak dan tempat tinggal yang tetap. Kendati mempraktikkan pola hidup yang berpindah atau nomadik untuk bertahan hidup, namun mereka konsisten menerapkan sistem keberlanjutan sumber daya alamnya. Tradisi hidup yang tak bergantung pada budidaya pertanian dan berternak ini bagi mereka bertujuan agar tak menghabiskan sumber daya alam di suatu wilayah. Diolah secukupnya. Begitupun dengan satwa buruan. Ia dibiarkan hidup liar di habitatnya. Persis seperti kebanyakan suku-suku adat di seluruh dunia yang membagi fungsi hutan atau lahan: sebagai dapur pengolahan, hutan pemujaan, lumbung dan lahan yang dibiarkan lestari. Suku berpopulasi kurang lebih seribu manusia yang masih tinggal di tanah warisan leluhurnya ini menggunakan bahasa lokal Hadzane yang unik, yakni lidah yang berdecak, letupan bibir plus bercampur siulan. Boleh dikata mereka adalah suku-suku pionir di wilayah timur benuanya George Weah. Namun kini berbalik, ragam tantangan mengintai suku Hadzabe. Fakta bahwa sikap ramah mereka pada alam justru malah mengikis teritori tanah air warisan leluhur, akibat persoalan tekanan populasi global ditambah peliknya kebijakan alih fungsi lahan yang bagi sebagian kalangan dianggap sebagai magnet yang elok agar dapur cuan terus mengebul. Persoalan yang kerap mengancam kawan-kawan masyarakat adat dimanapun. Terdengar seperti deja vu? Menukil jurnal yang pernah dituliskan Jared, Yuval, David Attenborough, dkk. bahwasanya praktik hidup keberlanjutan yang memprioritaskan sumber daya alam mutlak menjadi kunci bagi sumber penghidupan kini dan nanti yang (seharusnya) lestari. Terlebih di Nusantara yang katanya tanah surga. Rahayu🌿
: (hahd-zah-bay) — Ketika membuka file lama perjalanan ke belahan timur Afrika medio 2018, jadi teringat jurnal Jared Diamond perihal kesamaan laku kearifan lokal yang dimiliki suku adat seluruh dunia. Dalam kesehariannya, suku Hadzabe di kawasan Danau Eyasi, utara Arusha, Tanzania ini hidup dengan cara berburu & mengumpulkan hasil bumi. Daging dari hasil buruan, umbi-umbian, madu serta bebuahan menjadi salah sekian hasil bumi yang dikonsumsi. Tetapi mereka tak memiliki ladang, ternak dan tempat tinggal yang tetap. Kendati mempraktikkan pola hidup yang berpindah atau nomadik untuk bertahan hidup, namun mereka konsisten menerapkan sistem keberlanjutan sumber daya alamnya. Tradisi hidup yang tak bergantung pada budidaya pertanian dan berternak ini bagi mereka bertujuan agar tak menghabiskan sumber daya alam di suatu wilayah. Diolah secukupnya. Begitupun dengan satwa buruan. Ia dibiarkan hidup liar di habitatnya. Persis seperti kebanyakan suku-suku adat di seluruh dunia yang membagi fungsi hutan atau lahan: sebagai dapur pengolahan, hutan pemujaan, lumbung dan lahan yang dibiarkan lestari. Suku berpopulasi kurang lebih seribu manusia yang masih tinggal di tanah warisan leluhurnya ini menggunakan bahasa lokal Hadzane yang unik, yakni lidah yang berdecak, letupan bibir plus bercampur siulan. Boleh dikata mereka adalah suku-suku pionir di wilayah timur benuanya George Weah. Namun kini berbalik, ragam tantangan mengintai suku Hadzabe. Fakta bahwa sikap ramah mereka pada alam justru malah mengikis teritori tanah air warisan leluhur, akibat persoalan tekanan populasi global ditambah peliknya kebijakan alih fungsi lahan yang bagi sebagian kalangan dianggap sebagai magnet yang elok agar dapur cuan terus mengebul. Persoalan yang kerap mengancam kawan-kawan masyarakat adat dimanapun. Terdengar seperti deja vu? Menukil jurnal yang pernah dituliskan Jared, Yuval, David Attenborough, dkk. bahwasanya praktik hidup keberlanjutan yang memprioritaskan sumber daya alam mutlak menjadi kunci bagi sumber penghidupan kini dan nanti yang (seharusnya) lestari. Terlebih di Nusantara yang katanya tanah surga. Rahayu🌿
: (hahd-zah-bay) — Ketika membuka file lama perjalanan ke belahan timur Afrika medio 2018, jadi teringat jurnal Jared Diamond perihal kesamaan laku kearifan lokal yang dimiliki suku adat seluruh dunia. Dalam kesehariannya, suku Hadzabe di kawasan Danau Eyasi, utara Arusha, Tanzania ini hidup dengan cara berburu & mengumpulkan hasil bumi. Daging dari hasil buruan, umbi-umbian, madu serta bebuahan menjadi salah sekian hasil bumi yang dikonsumsi. Tetapi mereka tak memiliki ladang, ternak dan tempat tinggal yang tetap. Kendati mempraktikkan pola hidup yang berpindah atau nomadik untuk bertahan hidup, namun mereka konsisten menerapkan sistem keberlanjutan sumber daya alamnya. Tradisi hidup yang tak bergantung pada budidaya pertanian dan berternak ini bagi mereka bertujuan agar tak menghabiskan sumber daya alam di suatu wilayah. Diolah secukupnya. Begitupun dengan satwa buruan. Ia dibiarkan hidup liar di habitatnya. Persis seperti kebanyakan suku-suku adat di seluruh dunia yang membagi fungsi hutan atau lahan: sebagai dapur pengolahan, hutan pemujaan, lumbung dan lahan yang dibiarkan lestari. Suku berpopulasi kurang lebih seribu manusia yang masih tinggal di tanah warisan leluhurnya ini menggunakan bahasa lokal Hadzane yang unik, yakni lidah yang berdecak, letupan bibir plus bercampur siulan. Boleh dikata mereka adalah suku-suku pionir di wilayah timur benuanya George Weah. Namun kini berbalik, ragam tantangan mengintai suku Hadzabe. Fakta bahwa sikap ramah mereka pada alam justru malah mengikis teritori tanah air warisan leluhur, akibat persoalan tekanan populasi global ditambah peliknya kebijakan alih fungsi lahan yang bagi sebagian kalangan dianggap sebagai magnet yang elok agar dapur cuan terus mengebul. Persoalan yang kerap mengancam kawan-kawan masyarakat adat dimanapun. Terdengar seperti deja vu? Menukil jurnal yang pernah dituliskan Jared, Yuval, David Attenborough, dkk. bahwasanya praktik hidup keberlanjutan yang memprioritaskan sumber daya alam mutlak menjadi kunci bagi sumber penghidupan kini dan nanti yang (seharusnya) lestari. Terlebih di Nusantara yang katanya tanah surga. Rahayu🌿
: (hahd-zah-bay) — Ketika membuka file lama perjalanan ke belahan timur Afrika medio 2018, jadi teringat jurnal Jared Diamond perihal kesamaan laku kearifan lokal yang dimiliki suku adat seluruh dunia. Dalam kesehariannya, suku Hadzabe di kawasan Danau Eyasi, utara Arusha, Tanzania ini hidup dengan cara berburu & mengumpulkan hasil bumi. Daging dari hasil buruan, umbi-umbian, madu serta bebuahan menjadi salah sekian hasil bumi yang dikonsumsi. Tetapi mereka tak memiliki ladang, ternak dan tempat tinggal yang tetap. Kendati mempraktikkan pola hidup yang berpindah atau nomadik untuk bertahan hidup, namun mereka konsisten menerapkan sistem keberlanjutan sumber daya alamnya. Tradisi hidup yang tak bergantung pada budidaya pertanian dan berternak ini bagi mereka bertujuan agar tak menghabiskan sumber daya alam di suatu wilayah. Diolah secukupnya. Begitupun dengan satwa buruan. Ia dibiarkan hidup liar di habitatnya. Persis seperti kebanyakan suku-suku adat di seluruh dunia yang membagi fungsi hutan atau lahan: sebagai dapur pengolahan, hutan pemujaan, lumbung dan lahan yang dibiarkan lestari. Suku berpopulasi kurang lebih seribu manusia yang masih tinggal di tanah warisan leluhurnya ini menggunakan bahasa lokal Hadzane yang unik, yakni lidah yang berdecak, letupan bibir plus bercampur siulan. Boleh dikata mereka adalah suku-suku pionir di wilayah timur benuanya George Weah. Namun kini berbalik, ragam tantangan mengintai suku Hadzabe. Fakta bahwa sikap ramah mereka pada alam justru malah mengikis teritori tanah air warisan leluhur, akibat persoalan tekanan populasi global ditambah peliknya kebijakan alih fungsi lahan yang bagi sebagian kalangan dianggap sebagai magnet yang elok agar dapur cuan terus mengebul. Persoalan yang kerap mengancam kawan-kawan masyarakat adat dimanapun. Terdengar seperti deja vu? Menukil jurnal yang pernah dituliskan Jared, Yuval, David Attenborough, dkk. bahwasanya praktik hidup keberlanjutan yang memprioritaskan sumber daya alam mutlak menjadi kunci bagi sumber penghidupan kini dan nanti yang (seharusnya) lestari. Terlebih di Nusantara yang katanya tanah surga. Rahayu🌿
Dalam salah satu tulisannya untuk majalah Inggris “The Spectator”, Michael Palin, seorang pejalan & jurnalis kawakan asal Britania Raya, pernah berujar bahwa susah untuk memilih tempat favorit yang pernah dikunjunginya. Namun ada satu lokasi yang tak pernah bisa ia lupakan setiap detilnya, yakni Peru dengan Machu Picchu nya. Palin remaja mendambakan untuk bisa melancong kesana. Namun dalam lawatannya ke Machu Picchu tahun 1997, ia terkesima dengan apa yang dirasakan ketika mempelajari dan mengitari seluk beluk bangunan-bangunan disana. Melebihi ekspektasi dan melampaui apa yang ia gambarkan ketika muda. Sebuah intimasi dalam isolasi. Singkatnya. Ketika malam tiba, dari balik jendela hotel tempat ia menginap, ia hanya bisa menatap siluet peninggalan gigantik yang bernilai nan bersejarah dari peradaban kuno Suku Inka yang dibangun di atas ketinggian 2.430 mdpl ini. Baginya ini adalah waktu yang nikmat untuk berkontemplasi. Seiring tanpa sengaja terdistraksi oleh sayup-sayup refrain lagu milik ABBA yang terdengar dari bar sebelah tempat ia menginap, yang kontan melahirkan quotes legendaris darinya, “Night falls over Machu Picchu to the sound of ‘Dancing Queen’.” Dokumentasi perjalanan Palin yang terangkum dalam tayangan dokumenter dan buku bertajuk sama yakni “Full Circle With Michael Palin” yang saya pernah baca sedekade silam, sedikit banyak mempengaruhi saya untuk merasakan langsung kesana bersama kawan saya, Yunaidi Joepoet, tahun 2019 lalu. Tapi bedanya, Palin menginap di hotel mewah yang bersebelahan dengan kawasan Machu Picchu. Kami memilih bermalam di penginapan yang berlokasi cukup jauh dari situs tersebut, dibawah kaki gunung ditengah hiruk pikuk keramaian kota kecil Aguas Calientes. Kendati berharap dapat mendengar sayup-sayup “Dancing Queen”, kami justru mendapati kemerduan musisi jalanan yang melantunkan “Hallelujah” nya si jenius nan puitis Leonard Cohen. Menambah syahdu malam yang dingin itu di Aguas Calientes, ditemani segelas arak lokal. — Foto pertama oleh @yunaidijoepoet Foto kedua ketika Palin di Machu Picchu.
Dalam salah satu tulisannya untuk majalah Inggris “The Spectator”, Michael Palin, seorang pejalan & jurnalis kawakan asal Britania Raya, pernah berujar bahwa susah untuk memilih tempat favorit yang pernah dikunjunginya. Namun ada satu lokasi yang tak pernah bisa ia lupakan setiap detilnya, yakni Peru dengan Machu Picchu nya. Palin remaja mendambakan untuk bisa melancong kesana. Namun dalam lawatannya ke Machu Picchu tahun 1997, ia terkesima dengan apa yang dirasakan ketika mempelajari dan mengitari seluk beluk bangunan-bangunan disana. Melebihi ekspektasi dan melampaui apa yang ia gambarkan ketika muda. Sebuah intimasi dalam isolasi. Singkatnya. Ketika malam tiba, dari balik jendela hotel tempat ia menginap, ia hanya bisa menatap siluet peninggalan gigantik yang bernilai nan bersejarah dari peradaban kuno Suku Inka yang dibangun di atas ketinggian 2.430 mdpl ini. Baginya ini adalah waktu yang nikmat untuk berkontemplasi. Seiring tanpa sengaja terdistraksi oleh sayup-sayup refrain lagu milik ABBA yang terdengar dari bar sebelah tempat ia menginap, yang kontan melahirkan quotes legendaris darinya, “Night falls over Machu Picchu to the sound of ‘Dancing Queen’.” Dokumentasi perjalanan Palin yang terangkum dalam tayangan dokumenter dan buku bertajuk sama yakni “Full Circle With Michael Palin” yang saya pernah baca sedekade silam, sedikit banyak mempengaruhi saya untuk merasakan langsung kesana bersama kawan saya, Yunaidi Joepoet, tahun 2019 lalu. Tapi bedanya, Palin menginap di hotel mewah yang bersebelahan dengan kawasan Machu Picchu. Kami memilih bermalam di penginapan yang berlokasi cukup jauh dari situs tersebut, dibawah kaki gunung ditengah hiruk pikuk keramaian kota kecil Aguas Calientes. Kendati berharap dapat mendengar sayup-sayup “Dancing Queen”, kami justru mendapati kemerduan musisi jalanan yang melantunkan “Hallelujah” nya si jenius nan puitis Leonard Cohen. Menambah syahdu malam yang dingin itu di Aguas Calientes, ditemani segelas arak lokal. — Foto pertama oleh @yunaidijoepoet Foto kedua ketika Palin di Machu Picchu.
Dalam salah satu tulisannya untuk majalah Inggris “The Spectator”, Michael Palin, seorang pejalan & jurnalis kawakan asal Britania Raya, pernah berujar bahwa susah untuk memilih tempat favorit yang pernah dikunjunginya. Namun ada satu lokasi yang tak pernah bisa ia lupakan setiap detilnya, yakni Peru dengan Machu Picchu nya. Palin remaja mendambakan untuk bisa melancong kesana. Namun dalam lawatannya ke Machu Picchu tahun 1997, ia terkesima dengan apa yang dirasakan ketika mempelajari dan mengitari seluk beluk bangunan-bangunan disana. Melebihi ekspektasi dan melampaui apa yang ia gambarkan ketika muda. Sebuah intimasi dalam isolasi. Singkatnya. Ketika malam tiba, dari balik jendela hotel tempat ia menginap, ia hanya bisa menatap siluet peninggalan gigantik yang bernilai nan bersejarah dari peradaban kuno Suku Inka yang dibangun di atas ketinggian 2.430 mdpl ini. Baginya ini adalah waktu yang nikmat untuk berkontemplasi. Seiring tanpa sengaja terdistraksi oleh sayup-sayup refrain lagu milik ABBA yang terdengar dari bar sebelah tempat ia menginap, yang kontan melahirkan quotes legendaris darinya, “Night falls over Machu Picchu to the sound of ‘Dancing Queen’.” Dokumentasi perjalanan Palin yang terangkum dalam tayangan dokumenter dan buku bertajuk sama yakni “Full Circle With Michael Palin” yang saya pernah baca sedekade silam, sedikit banyak mempengaruhi saya untuk merasakan langsung kesana bersama kawan saya, Yunaidi Joepoet, tahun 2019 lalu. Tapi bedanya, Palin menginap di hotel mewah yang bersebelahan dengan kawasan Machu Picchu. Kami memilih bermalam di penginapan yang berlokasi cukup jauh dari situs tersebut, dibawah kaki gunung ditengah hiruk pikuk keramaian kota kecil Aguas Calientes. Kendati berharap dapat mendengar sayup-sayup “Dancing Queen”, kami justru mendapati kemerduan musisi jalanan yang melantunkan “Hallelujah” nya si jenius nan puitis Leonard Cohen. Menambah syahdu malam yang dingin itu di Aguas Calientes, ditemani segelas arak lokal. — Foto pertama oleh @yunaidijoepoet Foto kedua ketika Palin di Machu Picchu.
Terus lakukan aksi kecil yang berdampak baik untuk lingkungan sekitar dan bumi. Small Habits, Big Changes! Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia! Bumi atau Plastik? #sayapilihbumi #nationalgeographicindonesia #worldwnvironmentday
Terus lakukan aksi kecil yang berdampak baik untuk lingkungan sekitar dan bumi. Small Habits, Big Changes! Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia! Bumi atau Plastik? #sayapilihbumi #nationalgeographicindonesia #worldwnvironmentday
Terus lakukan aksi kecil yang berdampak baik untuk lingkungan sekitar dan bumi. Small Habits, Big Changes! Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia! Bumi atau Plastik? #sayapilihbumi #nationalgeographicindonesia #worldwnvironmentday
Terus lakukan aksi kecil yang berdampak baik untuk lingkungan sekitar dan bumi. Small Habits, Big Changes! Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia! Bumi atau Plastik? #sayapilihbumi #nationalgeographicindonesia #worldwnvironmentday
Terus lakukan aksi kecil yang berdampak baik untuk lingkungan sekitar dan bumi. Small Habits, Big Changes! Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia! Bumi atau Plastik? #sayapilihbumi #nationalgeographicindonesia #worldwnvironmentday
Terus lakukan aksi kecil yang berdampak baik untuk lingkungan sekitar dan bumi. Small Habits, Big Changes! Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia! Bumi atau Plastik? #sayapilihbumi #nationalgeographicindonesia #worldwnvironmentday