: Dear, Le Bojo. Berniat menyiapkan makanan untukmu, menggoreng birthday cake, serta membereskan rumah di hari kelahiranmu ini rasanya bukan ide yang baik. Malah berpotensi runyam hasilnya. Percayalah sayang, you’re irreplaceable! Terlebih meladeni suamimu yang nyentrik nan mbetik ini. Meski aku bergelimang keteledoran dan ketidaksempurnaan, tapi doa yang kupanjatkan terkirim tulus untukmu: Sehat selalu menyertaimu, kemudahan selalu bersahabat denganmu, kebahagiaan selalu bersamamu dan kita, serta keberkahan selalu memelukmu. Termasuk berkah buatku yang selalu memelukmu.. dengan penuh rayu, tentoenja! Tetap tangguh berdiri dan melangkah, bertualang dan tak lelah memberi manfaat baik untuk banyak orang. Terus bertumbuh dan bergandengan tangan dengan sederhana, Mon Bojo!🐱 HAPPY BIRTHDAY my favorite superhuman! Love you😘
Limbah Rumah Tangga Untuk Budidaya Yang Ramah Lingkungan & Berkelanjutan. — Pembudidayaan tambak menggambarkan bahwa alam terus memberikan kehidupan bagi manusianya. Namun mampukah manusia beradaptasi untuk keberlanjutan alam? Pertanyaan tadi berputar di kepala saat saya duduk ditepian tambak Kampung Pegat Batumbuk, Berau, Kalimantan Timur di siang yang mendung itu ditengah penugasan National Geographic Indonesia ke wilayah pesisir timur Borneo pekan lalu. Jelas pengolahan secara organik menjadi satu-satunya kunci keberlanjutan & kesejahteraan ditengah ancaman perubahan iklim. Namun dapatkah diterapkan? Hasil panen tambak adalah salah satu sumber komoditi kehidupan di Pegat Batumbuk. Masyarakat lokal sadar betul tak mudah untuk menjaga keberlanjutan budidaya tambak yang berdampingan dengan kawasan hutan bakau. Kendati penggunaan pupuk berbahan kimia kerapkali hadir menggoda menawarkan solusi praktis, namun secara berkala dan terpadu masyarakat memilih untuk mengolah pemanfaatan limbah rumah tangga sebagai solusi menjaga kualitas panen. Pengolahan kompos dan mikroorganisme lokal (MoL) yang berasal dari fermentasi sisa sayuran atau makanan, tumbukan kulit kering udang serta air cucian beras ini terbukti mampu menjadi nutrisi bagi air untuk meningkatkan pertumbuhan pakan alami dan senantiasa menjaga kualitas tanah pelataran dan air tambak. Hasilnya? Jelas kualitas panen menjadi lebih sehat. Tentu upaya masyarakat Pegat Batumbuk ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh praktik keberpihakan pada lingkungan yang sejatinya tersebar di pelosok negeri. Meski prosesnya tak singkat, pada akhirnya kualitas yang baik tentu otomatis tak melupakan kuantitas. Rumusan yang seharusnya bisa menjadi pegangan & kebijakan bila kita mau menjaga keberlanjutan alam. Demi mewujudkan lestari. #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara #ykan
Limbah Rumah Tangga Untuk Budidaya Yang Ramah Lingkungan & Berkelanjutan. — Pembudidayaan tambak menggambarkan bahwa alam terus memberikan kehidupan bagi manusianya. Namun mampukah manusia beradaptasi untuk keberlanjutan alam? Pertanyaan tadi berputar di kepala saat saya duduk ditepian tambak Kampung Pegat Batumbuk, Berau, Kalimantan Timur di siang yang mendung itu ditengah penugasan National Geographic Indonesia ke wilayah pesisir timur Borneo pekan lalu. Jelas pengolahan secara organik menjadi satu-satunya kunci keberlanjutan & kesejahteraan ditengah ancaman perubahan iklim. Namun dapatkah diterapkan? Hasil panen tambak adalah salah satu sumber komoditi kehidupan di Pegat Batumbuk. Masyarakat lokal sadar betul tak mudah untuk menjaga keberlanjutan budidaya tambak yang berdampingan dengan kawasan hutan bakau. Kendati penggunaan pupuk berbahan kimia kerapkali hadir menggoda menawarkan solusi praktis, namun secara berkala dan terpadu masyarakat memilih untuk mengolah pemanfaatan limbah rumah tangga sebagai solusi menjaga kualitas panen. Pengolahan kompos dan mikroorganisme lokal (MoL) yang berasal dari fermentasi sisa sayuran atau makanan, tumbukan kulit kering udang serta air cucian beras ini terbukti mampu menjadi nutrisi bagi air untuk meningkatkan pertumbuhan pakan alami dan senantiasa menjaga kualitas tanah pelataran dan air tambak. Hasilnya? Jelas kualitas panen menjadi lebih sehat. Tentu upaya masyarakat Pegat Batumbuk ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh praktik keberpihakan pada lingkungan yang sejatinya tersebar di pelosok negeri. Meski prosesnya tak singkat, pada akhirnya kualitas yang baik tentu otomatis tak melupakan kuantitas. Rumusan yang seharusnya bisa menjadi pegangan & kebijakan bila kita mau menjaga keberlanjutan alam. Demi mewujudkan lestari. #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara #ykan
Limbah Rumah Tangga Untuk Budidaya Yang Ramah Lingkungan & Berkelanjutan. — Pembudidayaan tambak menggambarkan bahwa alam terus memberikan kehidupan bagi manusianya. Namun mampukah manusia beradaptasi untuk keberlanjutan alam? Pertanyaan tadi berputar di kepala saat saya duduk ditepian tambak Kampung Pegat Batumbuk, Berau, Kalimantan Timur di siang yang mendung itu ditengah penugasan National Geographic Indonesia ke wilayah pesisir timur Borneo pekan lalu. Jelas pengolahan secara organik menjadi satu-satunya kunci keberlanjutan & kesejahteraan ditengah ancaman perubahan iklim. Namun dapatkah diterapkan? Hasil panen tambak adalah salah satu sumber komoditi kehidupan di Pegat Batumbuk. Masyarakat lokal sadar betul tak mudah untuk menjaga keberlanjutan budidaya tambak yang berdampingan dengan kawasan hutan bakau. Kendati penggunaan pupuk berbahan kimia kerapkali hadir menggoda menawarkan solusi praktis, namun secara berkala dan terpadu masyarakat memilih untuk mengolah pemanfaatan limbah rumah tangga sebagai solusi menjaga kualitas panen. Pengolahan kompos dan mikroorganisme lokal (MoL) yang berasal dari fermentasi sisa sayuran atau makanan, tumbukan kulit kering udang serta air cucian beras ini terbukti mampu menjadi nutrisi bagi air untuk meningkatkan pertumbuhan pakan alami dan senantiasa menjaga kualitas tanah pelataran dan air tambak. Hasilnya? Jelas kualitas panen menjadi lebih sehat. Tentu upaya masyarakat Pegat Batumbuk ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh praktik keberpihakan pada lingkungan yang sejatinya tersebar di pelosok negeri. Meski prosesnya tak singkat, pada akhirnya kualitas yang baik tentu otomatis tak melupakan kuantitas. Rumusan yang seharusnya bisa menjadi pegangan & kebijakan bila kita mau menjaga keberlanjutan alam. Demi mewujudkan lestari. #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara #ykan
Limbah Rumah Tangga Untuk Budidaya Yang Ramah Lingkungan & Berkelanjutan. — Pembudidayaan tambak menggambarkan bahwa alam terus memberikan kehidupan bagi manusianya. Namun mampukah manusia beradaptasi untuk keberlanjutan alam? Pertanyaan tadi berputar di kepala saat saya duduk ditepian tambak Kampung Pegat Batumbuk, Berau, Kalimantan Timur di siang yang mendung itu ditengah penugasan National Geographic Indonesia ke wilayah pesisir timur Borneo pekan lalu. Jelas pengolahan secara organik menjadi satu-satunya kunci keberlanjutan & kesejahteraan ditengah ancaman perubahan iklim. Namun dapatkah diterapkan? Hasil panen tambak adalah salah satu sumber komoditi kehidupan di Pegat Batumbuk. Masyarakat lokal sadar betul tak mudah untuk menjaga keberlanjutan budidaya tambak yang berdampingan dengan kawasan hutan bakau. Kendati penggunaan pupuk berbahan kimia kerapkali hadir menggoda menawarkan solusi praktis, namun secara berkala dan terpadu masyarakat memilih untuk mengolah pemanfaatan limbah rumah tangga sebagai solusi menjaga kualitas panen. Pengolahan kompos dan mikroorganisme lokal (MoL) yang berasal dari fermentasi sisa sayuran atau makanan, tumbukan kulit kering udang serta air cucian beras ini terbukti mampu menjadi nutrisi bagi air untuk meningkatkan pertumbuhan pakan alami dan senantiasa menjaga kualitas tanah pelataran dan air tambak. Hasilnya? Jelas kualitas panen menjadi lebih sehat. Tentu upaya masyarakat Pegat Batumbuk ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh praktik keberpihakan pada lingkungan yang sejatinya tersebar di pelosok negeri. Meski prosesnya tak singkat, pada akhirnya kualitas yang baik tentu otomatis tak melupakan kuantitas. Rumusan yang seharusnya bisa menjadi pegangan & kebijakan bila kita mau menjaga keberlanjutan alam. Demi mewujudkan lestari. #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara #ykan
Limbah Rumah Tangga Untuk Budidaya Yang Ramah Lingkungan & Berkelanjutan. — Pembudidayaan tambak menggambarkan bahwa alam terus memberikan kehidupan bagi manusianya. Namun mampukah manusia beradaptasi untuk keberlanjutan alam? Pertanyaan tadi berputar di kepala saat saya duduk ditepian tambak Kampung Pegat Batumbuk, Berau, Kalimantan Timur di siang yang mendung itu ditengah penugasan National Geographic Indonesia ke wilayah pesisir timur Borneo pekan lalu. Jelas pengolahan secara organik menjadi satu-satunya kunci keberlanjutan & kesejahteraan ditengah ancaman perubahan iklim. Namun dapatkah diterapkan? Hasil panen tambak adalah salah satu sumber komoditi kehidupan di Pegat Batumbuk. Masyarakat lokal sadar betul tak mudah untuk menjaga keberlanjutan budidaya tambak yang berdampingan dengan kawasan hutan bakau. Kendati penggunaan pupuk berbahan kimia kerapkali hadir menggoda menawarkan solusi praktis, namun secara berkala dan terpadu masyarakat memilih untuk mengolah pemanfaatan limbah rumah tangga sebagai solusi menjaga kualitas panen. Pengolahan kompos dan mikroorganisme lokal (MoL) yang berasal dari fermentasi sisa sayuran atau makanan, tumbukan kulit kering udang serta air cucian beras ini terbukti mampu menjadi nutrisi bagi air untuk meningkatkan pertumbuhan pakan alami dan senantiasa menjaga kualitas tanah pelataran dan air tambak. Hasilnya? Jelas kualitas panen menjadi lebih sehat. Tentu upaya masyarakat Pegat Batumbuk ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh praktik keberpihakan pada lingkungan yang sejatinya tersebar di pelosok negeri. Meski prosesnya tak singkat, pada akhirnya kualitas yang baik tentu otomatis tak melupakan kuantitas. Rumusan yang seharusnya bisa menjadi pegangan & kebijakan bila kita mau menjaga keberlanjutan alam. Demi mewujudkan lestari. #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara #ykan
Limbah Rumah Tangga Untuk Budidaya Yang Ramah Lingkungan & Berkelanjutan. — Pembudidayaan tambak menggambarkan bahwa alam terus memberikan kehidupan bagi manusianya. Namun mampukah manusia beradaptasi untuk keberlanjutan alam? Pertanyaan tadi berputar di kepala saat saya duduk ditepian tambak Kampung Pegat Batumbuk, Berau, Kalimantan Timur di siang yang mendung itu ditengah penugasan National Geographic Indonesia ke wilayah pesisir timur Borneo pekan lalu. Jelas pengolahan secara organik menjadi satu-satunya kunci keberlanjutan & kesejahteraan ditengah ancaman perubahan iklim. Namun dapatkah diterapkan? Hasil panen tambak adalah salah satu sumber komoditi kehidupan di Pegat Batumbuk. Masyarakat lokal sadar betul tak mudah untuk menjaga keberlanjutan budidaya tambak yang berdampingan dengan kawasan hutan bakau. Kendati penggunaan pupuk berbahan kimia kerapkali hadir menggoda menawarkan solusi praktis, namun secara berkala dan terpadu masyarakat memilih untuk mengolah pemanfaatan limbah rumah tangga sebagai solusi menjaga kualitas panen. Pengolahan kompos dan mikroorganisme lokal (MoL) yang berasal dari fermentasi sisa sayuran atau makanan, tumbukan kulit kering udang serta air cucian beras ini terbukti mampu menjadi nutrisi bagi air untuk meningkatkan pertumbuhan pakan alami dan senantiasa menjaga kualitas tanah pelataran dan air tambak. Hasilnya? Jelas kualitas panen menjadi lebih sehat. Tentu upaya masyarakat Pegat Batumbuk ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh praktik keberpihakan pada lingkungan yang sejatinya tersebar di pelosok negeri. Meski prosesnya tak singkat, pada akhirnya kualitas yang baik tentu otomatis tak melupakan kuantitas. Rumusan yang seharusnya bisa menjadi pegangan & kebijakan bila kita mau menjaga keberlanjutan alam. Demi mewujudkan lestari. #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara #ykan
Limbah Rumah Tangga Untuk Budidaya Yang Ramah Lingkungan & Berkelanjutan. — Pembudidayaan tambak menggambarkan bahwa alam terus memberikan kehidupan bagi manusianya. Namun mampukah manusia beradaptasi untuk keberlanjutan alam? Pertanyaan tadi berputar di kepala saat saya duduk ditepian tambak Kampung Pegat Batumbuk, Berau, Kalimantan Timur di siang yang mendung itu ditengah penugasan National Geographic Indonesia ke wilayah pesisir timur Borneo pekan lalu. Jelas pengolahan secara organik menjadi satu-satunya kunci keberlanjutan & kesejahteraan ditengah ancaman perubahan iklim. Namun dapatkah diterapkan? Hasil panen tambak adalah salah satu sumber komoditi kehidupan di Pegat Batumbuk. Masyarakat lokal sadar betul tak mudah untuk menjaga keberlanjutan budidaya tambak yang berdampingan dengan kawasan hutan bakau. Kendati penggunaan pupuk berbahan kimia kerapkali hadir menggoda menawarkan solusi praktis, namun secara berkala dan terpadu masyarakat memilih untuk mengolah pemanfaatan limbah rumah tangga sebagai solusi menjaga kualitas panen. Pengolahan kompos dan mikroorganisme lokal (MoL) yang berasal dari fermentasi sisa sayuran atau makanan, tumbukan kulit kering udang serta air cucian beras ini terbukti mampu menjadi nutrisi bagi air untuk meningkatkan pertumbuhan pakan alami dan senantiasa menjaga kualitas tanah pelataran dan air tambak. Hasilnya? Jelas kualitas panen menjadi lebih sehat. Tentu upaya masyarakat Pegat Batumbuk ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh praktik keberpihakan pada lingkungan yang sejatinya tersebar di pelosok negeri. Meski prosesnya tak singkat, pada akhirnya kualitas yang baik tentu otomatis tak melupakan kuantitas. Rumusan yang seharusnya bisa menjadi pegangan & kebijakan bila kita mau menjaga keberlanjutan alam. Demi mewujudkan lestari. #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara #ykan
Limbah Rumah Tangga Untuk Budidaya Yang Ramah Lingkungan & Berkelanjutan. — Pembudidayaan tambak menggambarkan bahwa alam terus memberikan kehidupan bagi manusianya. Namun mampukah manusia beradaptasi untuk keberlanjutan alam? Pertanyaan tadi berputar di kepala saat saya duduk ditepian tambak Kampung Pegat Batumbuk, Berau, Kalimantan Timur di siang yang mendung itu ditengah penugasan National Geographic Indonesia ke wilayah pesisir timur Borneo pekan lalu. Jelas pengolahan secara organik menjadi satu-satunya kunci keberlanjutan & kesejahteraan ditengah ancaman perubahan iklim. Namun dapatkah diterapkan? Hasil panen tambak adalah salah satu sumber komoditi kehidupan di Pegat Batumbuk. Masyarakat lokal sadar betul tak mudah untuk menjaga keberlanjutan budidaya tambak yang berdampingan dengan kawasan hutan bakau. Kendati penggunaan pupuk berbahan kimia kerapkali hadir menggoda menawarkan solusi praktis, namun secara berkala dan terpadu masyarakat memilih untuk mengolah pemanfaatan limbah rumah tangga sebagai solusi menjaga kualitas panen. Pengolahan kompos dan mikroorganisme lokal (MoL) yang berasal dari fermentasi sisa sayuran atau makanan, tumbukan kulit kering udang serta air cucian beras ini terbukti mampu menjadi nutrisi bagi air untuk meningkatkan pertumbuhan pakan alami dan senantiasa menjaga kualitas tanah pelataran dan air tambak. Hasilnya? Jelas kualitas panen menjadi lebih sehat. Tentu upaya masyarakat Pegat Batumbuk ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh praktik keberpihakan pada lingkungan yang sejatinya tersebar di pelosok negeri. Meski prosesnya tak singkat, pada akhirnya kualitas yang baik tentu otomatis tak melupakan kuantitas. Rumusan yang seharusnya bisa menjadi pegangan & kebijakan bila kita mau menjaga keberlanjutan alam. Demi mewujudkan lestari. #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara #ykan
Kudapan untuk Restorasi. — Bermula dari paceklik panen yang dialami para nelayan pada 2003 di kawasan Teluk Semanting, Berau, Kalimantan Timur, memaksa masyarakat lokal mencoba mengolah resep olahan kudapan amplang dan abon kerupuk sebagai penunjang ekonomi. Hingga pada akhirnya pada 2016 secara resmi terbentuklah Kelompok Tengiri 2 di Kampung Teluk Semanting. Beruntung, pada penugasan National Geographic Indonesia tempo lalu saya berkesempatan untuk terlibat pada pengolahan kerupuk amplang yang menjadi komoditi bagi masyarakat lokal. Bergabung bersama para anggota Kelompok Tengiri 2 saya belajar mengolah kudapan tersebut, walaupun naga-naganya tangan dingin saya sepertinya cukup membuat abstrak bentuknya. Bergantung musim panen, dalam satu bulan menghasilkan rata-rata 4000 sampai dengan 5000 kemasan dipasarkan ke kawasan Berau, yang berasal dari olahan 500-600 kilogram ikan bulan-bulan dan bandeng jantan. Rumusan tersebut sejati nya bukanlah angka ideal, mengingat dampak perubahan iklim yang mempengaruhi kondisi mangrove sebaagai habitat bagi ikan-ikan bahan baku kudapan tersebut. Hal ini menginisiasi secara mandiri kelompok usaha ini untuk membuat rumusan menyisihkan sebagian pendapatan per kemasan untuk merestorasi mangrove yang terdampak. “Kalau mangrovenya sehat, maka ikan-ikan juga sehat. Lingkungan sehat, masyarakatnya sejahtera.” Jelas Bu Zuhaina, ketua Kelompok Tengiri 2 pada saya sembari mencatat kemasan yang siap dikirim ke reseller. Tentu upaya-upaya yang dipraktikkan oleh masyarakat Kampung Teluk Semanting ini menunjang ketahanan ekonomi rumah tangga dan memberi peluang nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Namun lebih dari itu praktik ini merupakan respon masyarakat memberikan nafas kehidupan terhadap ekosistem mangrove yang terus memberi kehidupan tak hanya bagi habitat satwa melainkan juga manusia-manusia yang hidup di sekitar kawasan. Sebuah timbal balik penghidupan yang seimbang dalam upaya masyarakat menjaga peradaban dengan terus berpihak pada lingkungan di tengah ancaman krisis iklim #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara
Kudapan untuk Restorasi. — Bermula dari paceklik panen yang dialami para nelayan pada 2003 di kawasan Teluk Semanting, Berau, Kalimantan Timur, memaksa masyarakat lokal mencoba mengolah resep olahan kudapan amplang dan abon kerupuk sebagai penunjang ekonomi. Hingga pada akhirnya pada 2016 secara resmi terbentuklah Kelompok Tengiri 2 di Kampung Teluk Semanting. Beruntung, pada penugasan National Geographic Indonesia tempo lalu saya berkesempatan untuk terlibat pada pengolahan kerupuk amplang yang menjadi komoditi bagi masyarakat lokal. Bergabung bersama para anggota Kelompok Tengiri 2 saya belajar mengolah kudapan tersebut, walaupun naga-naganya tangan dingin saya sepertinya cukup membuat abstrak bentuknya. Bergantung musim panen, dalam satu bulan menghasilkan rata-rata 4000 sampai dengan 5000 kemasan dipasarkan ke kawasan Berau, yang berasal dari olahan 500-600 kilogram ikan bulan-bulan dan bandeng jantan. Rumusan tersebut sejati nya bukanlah angka ideal, mengingat dampak perubahan iklim yang mempengaruhi kondisi mangrove sebaagai habitat bagi ikan-ikan bahan baku kudapan tersebut. Hal ini menginisiasi secara mandiri kelompok usaha ini untuk membuat rumusan menyisihkan sebagian pendapatan per kemasan untuk merestorasi mangrove yang terdampak. “Kalau mangrovenya sehat, maka ikan-ikan juga sehat. Lingkungan sehat, masyarakatnya sejahtera.” Jelas Bu Zuhaina, ketua Kelompok Tengiri 2 pada saya sembari mencatat kemasan yang siap dikirim ke reseller. Tentu upaya-upaya yang dipraktikkan oleh masyarakat Kampung Teluk Semanting ini menunjang ketahanan ekonomi rumah tangga dan memberi peluang nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Namun lebih dari itu praktik ini merupakan respon masyarakat memberikan nafas kehidupan terhadap ekosistem mangrove yang terus memberi kehidupan tak hanya bagi habitat satwa melainkan juga manusia-manusia yang hidup di sekitar kawasan. Sebuah timbal balik penghidupan yang seimbang dalam upaya masyarakat menjaga peradaban dengan terus berpihak pada lingkungan di tengah ancaman krisis iklim #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara
Kudapan untuk Restorasi. — Bermula dari paceklik panen yang dialami para nelayan pada 2003 di kawasan Teluk Semanting, Berau, Kalimantan Timur, memaksa masyarakat lokal mencoba mengolah resep olahan kudapan amplang dan abon kerupuk sebagai penunjang ekonomi. Hingga pada akhirnya pada 2016 secara resmi terbentuklah Kelompok Tengiri 2 di Kampung Teluk Semanting. Beruntung, pada penugasan National Geographic Indonesia tempo lalu saya berkesempatan untuk terlibat pada pengolahan kerupuk amplang yang menjadi komoditi bagi masyarakat lokal. Bergabung bersama para anggota Kelompok Tengiri 2 saya belajar mengolah kudapan tersebut, walaupun naga-naganya tangan dingin saya sepertinya cukup membuat abstrak bentuknya. Bergantung musim panen, dalam satu bulan menghasilkan rata-rata 4000 sampai dengan 5000 kemasan dipasarkan ke kawasan Berau, yang berasal dari olahan 500-600 kilogram ikan bulan-bulan dan bandeng jantan. Rumusan tersebut sejati nya bukanlah angka ideal, mengingat dampak perubahan iklim yang mempengaruhi kondisi mangrove sebaagai habitat bagi ikan-ikan bahan baku kudapan tersebut. Hal ini menginisiasi secara mandiri kelompok usaha ini untuk membuat rumusan menyisihkan sebagian pendapatan per kemasan untuk merestorasi mangrove yang terdampak. “Kalau mangrovenya sehat, maka ikan-ikan juga sehat. Lingkungan sehat, masyarakatnya sejahtera.” Jelas Bu Zuhaina, ketua Kelompok Tengiri 2 pada saya sembari mencatat kemasan yang siap dikirim ke reseller. Tentu upaya-upaya yang dipraktikkan oleh masyarakat Kampung Teluk Semanting ini menunjang ketahanan ekonomi rumah tangga dan memberi peluang nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Namun lebih dari itu praktik ini merupakan respon masyarakat memberikan nafas kehidupan terhadap ekosistem mangrove yang terus memberi kehidupan tak hanya bagi habitat satwa melainkan juga manusia-manusia yang hidup di sekitar kawasan. Sebuah timbal balik penghidupan yang seimbang dalam upaya masyarakat menjaga peradaban dengan terus berpihak pada lingkungan di tengah ancaman krisis iklim #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara
Kudapan untuk Restorasi. — Bermula dari paceklik panen yang dialami para nelayan pada 2003 di kawasan Teluk Semanting, Berau, Kalimantan Timur, memaksa masyarakat lokal mencoba mengolah resep olahan kudapan amplang dan abon kerupuk sebagai penunjang ekonomi. Hingga pada akhirnya pada 2016 secara resmi terbentuklah Kelompok Tengiri 2 di Kampung Teluk Semanting. Beruntung, pada penugasan National Geographic Indonesia tempo lalu saya berkesempatan untuk terlibat pada pengolahan kerupuk amplang yang menjadi komoditi bagi masyarakat lokal. Bergabung bersama para anggota Kelompok Tengiri 2 saya belajar mengolah kudapan tersebut, walaupun naga-naganya tangan dingin saya sepertinya cukup membuat abstrak bentuknya. Bergantung musim panen, dalam satu bulan menghasilkan rata-rata 4000 sampai dengan 5000 kemasan dipasarkan ke kawasan Berau, yang berasal dari olahan 500-600 kilogram ikan bulan-bulan dan bandeng jantan. Rumusan tersebut sejati nya bukanlah angka ideal, mengingat dampak perubahan iklim yang mempengaruhi kondisi mangrove sebaagai habitat bagi ikan-ikan bahan baku kudapan tersebut. Hal ini menginisiasi secara mandiri kelompok usaha ini untuk membuat rumusan menyisihkan sebagian pendapatan per kemasan untuk merestorasi mangrove yang terdampak. “Kalau mangrovenya sehat, maka ikan-ikan juga sehat. Lingkungan sehat, masyarakatnya sejahtera.” Jelas Bu Zuhaina, ketua Kelompok Tengiri 2 pada saya sembari mencatat kemasan yang siap dikirim ke reseller. Tentu upaya-upaya yang dipraktikkan oleh masyarakat Kampung Teluk Semanting ini menunjang ketahanan ekonomi rumah tangga dan memberi peluang nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Namun lebih dari itu praktik ini merupakan respon masyarakat memberikan nafas kehidupan terhadap ekosistem mangrove yang terus memberi kehidupan tak hanya bagi habitat satwa melainkan juga manusia-manusia yang hidup di sekitar kawasan. Sebuah timbal balik penghidupan yang seimbang dalam upaya masyarakat menjaga peradaban dengan terus berpihak pada lingkungan di tengah ancaman krisis iklim #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara
Kudapan untuk Restorasi. — Bermula dari paceklik panen yang dialami para nelayan pada 2003 di kawasan Teluk Semanting, Berau, Kalimantan Timur, memaksa masyarakat lokal mencoba mengolah resep olahan kudapan amplang dan abon kerupuk sebagai penunjang ekonomi. Hingga pada akhirnya pada 2016 secara resmi terbentuklah Kelompok Tengiri 2 di Kampung Teluk Semanting. Beruntung, pada penugasan National Geographic Indonesia tempo lalu saya berkesempatan untuk terlibat pada pengolahan kerupuk amplang yang menjadi komoditi bagi masyarakat lokal. Bergabung bersama para anggota Kelompok Tengiri 2 saya belajar mengolah kudapan tersebut, walaupun naga-naganya tangan dingin saya sepertinya cukup membuat abstrak bentuknya. Bergantung musim panen, dalam satu bulan menghasilkan rata-rata 4000 sampai dengan 5000 kemasan dipasarkan ke kawasan Berau, yang berasal dari olahan 500-600 kilogram ikan bulan-bulan dan bandeng jantan. Rumusan tersebut sejati nya bukanlah angka ideal, mengingat dampak perubahan iklim yang mempengaruhi kondisi mangrove sebaagai habitat bagi ikan-ikan bahan baku kudapan tersebut. Hal ini menginisiasi secara mandiri kelompok usaha ini untuk membuat rumusan menyisihkan sebagian pendapatan per kemasan untuk merestorasi mangrove yang terdampak. “Kalau mangrovenya sehat, maka ikan-ikan juga sehat. Lingkungan sehat, masyarakatnya sejahtera.” Jelas Bu Zuhaina, ketua Kelompok Tengiri 2 pada saya sembari mencatat kemasan yang siap dikirim ke reseller. Tentu upaya-upaya yang dipraktikkan oleh masyarakat Kampung Teluk Semanting ini menunjang ketahanan ekonomi rumah tangga dan memberi peluang nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Namun lebih dari itu praktik ini merupakan respon masyarakat memberikan nafas kehidupan terhadap ekosistem mangrove yang terus memberi kehidupan tak hanya bagi habitat satwa melainkan juga manusia-manusia yang hidup di sekitar kawasan. Sebuah timbal balik penghidupan yang seimbang dalam upaya masyarakat menjaga peradaban dengan terus berpihak pada lingkungan di tengah ancaman krisis iklim #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara
Kudapan untuk Restorasi. — Bermula dari paceklik panen yang dialami para nelayan pada 2003 di kawasan Teluk Semanting, Berau, Kalimantan Timur, memaksa masyarakat lokal mencoba mengolah resep olahan kudapan amplang dan abon kerupuk sebagai penunjang ekonomi. Hingga pada akhirnya pada 2016 secara resmi terbentuklah Kelompok Tengiri 2 di Kampung Teluk Semanting. Beruntung, pada penugasan National Geographic Indonesia tempo lalu saya berkesempatan untuk terlibat pada pengolahan kerupuk amplang yang menjadi komoditi bagi masyarakat lokal. Bergabung bersama para anggota Kelompok Tengiri 2 saya belajar mengolah kudapan tersebut, walaupun naga-naganya tangan dingin saya sepertinya cukup membuat abstrak bentuknya. Bergantung musim panen, dalam satu bulan menghasilkan rata-rata 4000 sampai dengan 5000 kemasan dipasarkan ke kawasan Berau, yang berasal dari olahan 500-600 kilogram ikan bulan-bulan dan bandeng jantan. Rumusan tersebut sejati nya bukanlah angka ideal, mengingat dampak perubahan iklim yang mempengaruhi kondisi mangrove sebaagai habitat bagi ikan-ikan bahan baku kudapan tersebut. Hal ini menginisiasi secara mandiri kelompok usaha ini untuk membuat rumusan menyisihkan sebagian pendapatan per kemasan untuk merestorasi mangrove yang terdampak. “Kalau mangrovenya sehat, maka ikan-ikan juga sehat. Lingkungan sehat, masyarakatnya sejahtera.” Jelas Bu Zuhaina, ketua Kelompok Tengiri 2 pada saya sembari mencatat kemasan yang siap dikirim ke reseller. Tentu upaya-upaya yang dipraktikkan oleh masyarakat Kampung Teluk Semanting ini menunjang ketahanan ekonomi rumah tangga dan memberi peluang nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Namun lebih dari itu praktik ini merupakan respon masyarakat memberikan nafas kehidupan terhadap ekosistem mangrove yang terus memberi kehidupan tak hanya bagi habitat satwa melainkan juga manusia-manusia yang hidup di sekitar kawasan. Sebuah timbal balik penghidupan yang seimbang dalam upaya masyarakat menjaga peradaban dengan terus berpihak pada lingkungan di tengah ancaman krisis iklim #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara
Kudapan untuk Restorasi. — Bermula dari paceklik panen yang dialami para nelayan pada 2003 di kawasan Teluk Semanting, Berau, Kalimantan Timur, memaksa masyarakat lokal mencoba mengolah resep olahan kudapan amplang dan abon kerupuk sebagai penunjang ekonomi. Hingga pada akhirnya pada 2016 secara resmi terbentuklah Kelompok Tengiri 2 di Kampung Teluk Semanting. Beruntung, pada penugasan National Geographic Indonesia tempo lalu saya berkesempatan untuk terlibat pada pengolahan kerupuk amplang yang menjadi komoditi bagi masyarakat lokal. Bergabung bersama para anggota Kelompok Tengiri 2 saya belajar mengolah kudapan tersebut, walaupun naga-naganya tangan dingin saya sepertinya cukup membuat abstrak bentuknya. Bergantung musim panen, dalam satu bulan menghasilkan rata-rata 4000 sampai dengan 5000 kemasan dipasarkan ke kawasan Berau, yang berasal dari olahan 500-600 kilogram ikan bulan-bulan dan bandeng jantan. Rumusan tersebut sejati nya bukanlah angka ideal, mengingat dampak perubahan iklim yang mempengaruhi kondisi mangrove sebaagai habitat bagi ikan-ikan bahan baku kudapan tersebut. Hal ini menginisiasi secara mandiri kelompok usaha ini untuk membuat rumusan menyisihkan sebagian pendapatan per kemasan untuk merestorasi mangrove yang terdampak. “Kalau mangrovenya sehat, maka ikan-ikan juga sehat. Lingkungan sehat, masyarakatnya sejahtera.” Jelas Bu Zuhaina, ketua Kelompok Tengiri 2 pada saya sembari mencatat kemasan yang siap dikirim ke reseller. Tentu upaya-upaya yang dipraktikkan oleh masyarakat Kampung Teluk Semanting ini menunjang ketahanan ekonomi rumah tangga dan memberi peluang nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Namun lebih dari itu praktik ini merupakan respon masyarakat memberikan nafas kehidupan terhadap ekosistem mangrove yang terus memberi kehidupan tak hanya bagi habitat satwa melainkan juga manusia-manusia yang hidup di sekitar kawasan. Sebuah timbal balik penghidupan yang seimbang dalam upaya masyarakat menjaga peradaban dengan terus berpihak pada lingkungan di tengah ancaman krisis iklim #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara
Kudapan untuk Restorasi. — Bermula dari paceklik panen yang dialami para nelayan pada 2003 di kawasan Teluk Semanting, Berau, Kalimantan Timur, memaksa masyarakat lokal mencoba mengolah resep olahan kudapan amplang dan abon kerupuk sebagai penunjang ekonomi. Hingga pada akhirnya pada 2016 secara resmi terbentuklah Kelompok Tengiri 2 di Kampung Teluk Semanting. Beruntung, pada penugasan National Geographic Indonesia tempo lalu saya berkesempatan untuk terlibat pada pengolahan kerupuk amplang yang menjadi komoditi bagi masyarakat lokal. Bergabung bersama para anggota Kelompok Tengiri 2 saya belajar mengolah kudapan tersebut, walaupun naga-naganya tangan dingin saya sepertinya cukup membuat abstrak bentuknya. Bergantung musim panen, dalam satu bulan menghasilkan rata-rata 4000 sampai dengan 5000 kemasan dipasarkan ke kawasan Berau, yang berasal dari olahan 500-600 kilogram ikan bulan-bulan dan bandeng jantan. Rumusan tersebut sejati nya bukanlah angka ideal, mengingat dampak perubahan iklim yang mempengaruhi kondisi mangrove sebaagai habitat bagi ikan-ikan bahan baku kudapan tersebut. Hal ini menginisiasi secara mandiri kelompok usaha ini untuk membuat rumusan menyisihkan sebagian pendapatan per kemasan untuk merestorasi mangrove yang terdampak. “Kalau mangrovenya sehat, maka ikan-ikan juga sehat. Lingkungan sehat, masyarakatnya sejahtera.” Jelas Bu Zuhaina, ketua Kelompok Tengiri 2 pada saya sembari mencatat kemasan yang siap dikirim ke reseller. Tentu upaya-upaya yang dipraktikkan oleh masyarakat Kampung Teluk Semanting ini menunjang ketahanan ekonomi rumah tangga dan memberi peluang nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Namun lebih dari itu praktik ini merupakan respon masyarakat memberikan nafas kehidupan terhadap ekosistem mangrove yang terus memberi kehidupan tak hanya bagi habitat satwa melainkan juga manusia-manusia yang hidup di sekitar kawasan. Sebuah timbal balik penghidupan yang seimbang dalam upaya masyarakat menjaga peradaban dengan terus berpihak pada lingkungan di tengah ancaman krisis iklim #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara
Rangkuman penugasan @natgeoindonesia menuju pesisir timur Borneo. Menengok dan menjemput inspirasi dari upaya pemberdayaan konservasi sumber daya alam oleh masyarakat pesisir dalam mengatasi tantangan perubahan iklim. #nationalgeographicindonesia #sayapilihbumi #konservasialamnusantara
: Tak Ada Musik Di Planet Yang Mati! — Hari ini, populasi manusia di bumi yang mencapai 8,5 milyar jelas memberikan dampak signifikan terhadap kerentanan planet. Memunculkan beragam persoalan lingkungan secara global, termasuk di negeri ini. Sebuah urgensi yang menginspirasi lahirnya IKLIM, inisiasi kolektif aksi iklim yang menyatukan musisi, seniman, organisasi lingkungan, dan ahli iklim di Indonesia untuk merespon tantangan ini. Pada 1-5 Juli 2024 kemarin, IKLIM menghelat lokakarya bagi musisi yang berkolaborasi dalam inisiatif ini. 15 musisi/band dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul, berdiskusi memperdalam pemahaman isu lingkungan bersama para pakar iklim antara lain: @econusa.id @purpose @coaction.id @greenpeaceid @cerah_indonesiaku @thinkpolicyid @trend_asia @natgeoindonesia @sayapilihbumi Turut pula dipertajam barisan fasilitator yang berisikan para musisi yang terlibat pada lokakarya tahun sebelumnya yakni @faridstevy @cholil @endahwidiastuti @tuantigabelas @igamassardi @rizalhadimusic serta @novaruth Selama lima hari para musisi melebur bersama pakar iklim & fasilitator untuk membangun gagasan demi gagasan dalam menyikapi isu iklim yang terjadi. Melahap data dan statistik persoalan untuk mengelola upaya-upaya guna diracik menjadi sebuah karya yang menggerakkan solusi. “Musisi bukanlah mesin industri, karena sejatinya musik mampu menggiring dan membentuk opini. Sebagai sebuah media edukasi informal perubahan budaya.” Ujar @robinavicula penggagas gerakan IKLIM di malam perayaan inaugurasi. Inisiasi ini memvalidasikan bahwa inklusifitas adalah satu-satunya solusi guna mengatasi isu iklim. Dimana musik dan seni tentu memiliki peran yang kuat dalam mendorong perubahan sosial. Dengan lugas sebuah karya seni diyakini memiliki kekuatan gelombang sonik yang sanggup menuai resonansi yang berdampak. Memanifestasikan penggalan khutbah Eddie Vedder: “Music’s at its best when it has a purpose.” Foto oleh: @musicdeclares_indonesia
: Tak Ada Musik Di Planet Yang Mati! — Hari ini, populasi manusia di bumi yang mencapai 8,5 milyar jelas memberikan dampak signifikan terhadap kerentanan planet. Memunculkan beragam persoalan lingkungan secara global, termasuk di negeri ini. Sebuah urgensi yang menginspirasi lahirnya IKLIM, inisiasi kolektif aksi iklim yang menyatukan musisi, seniman, organisasi lingkungan, dan ahli iklim di Indonesia untuk merespon tantangan ini. Pada 1-5 Juli 2024 kemarin, IKLIM menghelat lokakarya bagi musisi yang berkolaborasi dalam inisiatif ini. 15 musisi/band dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul, berdiskusi memperdalam pemahaman isu lingkungan bersama para pakar iklim antara lain: @econusa.id @purpose @coaction.id @greenpeaceid @cerah_indonesiaku @thinkpolicyid @trend_asia @natgeoindonesia @sayapilihbumi Turut pula dipertajam barisan fasilitator yang berisikan para musisi yang terlibat pada lokakarya tahun sebelumnya yakni @faridstevy @cholil @endahwidiastuti @tuantigabelas @igamassardi @rizalhadimusic serta @novaruth Selama lima hari para musisi melebur bersama pakar iklim & fasilitator untuk membangun gagasan demi gagasan dalam menyikapi isu iklim yang terjadi. Melahap data dan statistik persoalan untuk mengelola upaya-upaya guna diracik menjadi sebuah karya yang menggerakkan solusi. “Musisi bukanlah mesin industri, karena sejatinya musik mampu menggiring dan membentuk opini. Sebagai sebuah media edukasi informal perubahan budaya.” Ujar @robinavicula penggagas gerakan IKLIM di malam perayaan inaugurasi. Inisiasi ini memvalidasikan bahwa inklusifitas adalah satu-satunya solusi guna mengatasi isu iklim. Dimana musik dan seni tentu memiliki peran yang kuat dalam mendorong perubahan sosial. Dengan lugas sebuah karya seni diyakini memiliki kekuatan gelombang sonik yang sanggup menuai resonansi yang berdampak. Memanifestasikan penggalan khutbah Eddie Vedder: “Music’s at its best when it has a purpose.” Foto oleh: @musicdeclares_indonesia
: Tak Ada Musik Di Planet Yang Mati! — Hari ini, populasi manusia di bumi yang mencapai 8,5 milyar jelas memberikan dampak signifikan terhadap kerentanan planet. Memunculkan beragam persoalan lingkungan secara global, termasuk di negeri ini. Sebuah urgensi yang menginspirasi lahirnya IKLIM, inisiasi kolektif aksi iklim yang menyatukan musisi, seniman, organisasi lingkungan, dan ahli iklim di Indonesia untuk merespon tantangan ini. Pada 1-5 Juli 2024 kemarin, IKLIM menghelat lokakarya bagi musisi yang berkolaborasi dalam inisiatif ini. 15 musisi/band dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul, berdiskusi memperdalam pemahaman isu lingkungan bersama para pakar iklim antara lain: @econusa.id @purpose @coaction.id @greenpeaceid @cerah_indonesiaku @thinkpolicyid @trend_asia @natgeoindonesia @sayapilihbumi Turut pula dipertajam barisan fasilitator yang berisikan para musisi yang terlibat pada lokakarya tahun sebelumnya yakni @faridstevy @cholil @endahwidiastuti @tuantigabelas @igamassardi @rizalhadimusic serta @novaruth Selama lima hari para musisi melebur bersama pakar iklim & fasilitator untuk membangun gagasan demi gagasan dalam menyikapi isu iklim yang terjadi. Melahap data dan statistik persoalan untuk mengelola upaya-upaya guna diracik menjadi sebuah karya yang menggerakkan solusi. “Musisi bukanlah mesin industri, karena sejatinya musik mampu menggiring dan membentuk opini. Sebagai sebuah media edukasi informal perubahan budaya.” Ujar @robinavicula penggagas gerakan IKLIM di malam perayaan inaugurasi. Inisiasi ini memvalidasikan bahwa inklusifitas adalah satu-satunya solusi guna mengatasi isu iklim. Dimana musik dan seni tentu memiliki peran yang kuat dalam mendorong perubahan sosial. Dengan lugas sebuah karya seni diyakini memiliki kekuatan gelombang sonik yang sanggup menuai resonansi yang berdampak. Memanifestasikan penggalan khutbah Eddie Vedder: “Music’s at its best when it has a purpose.” Foto oleh: @musicdeclares_indonesia
: Tak Ada Musik Di Planet Yang Mati! — Hari ini, populasi manusia di bumi yang mencapai 8,5 milyar jelas memberikan dampak signifikan terhadap kerentanan planet. Memunculkan beragam persoalan lingkungan secara global, termasuk di negeri ini. Sebuah urgensi yang menginspirasi lahirnya IKLIM, inisiasi kolektif aksi iklim yang menyatukan musisi, seniman, organisasi lingkungan, dan ahli iklim di Indonesia untuk merespon tantangan ini. Pada 1-5 Juli 2024 kemarin, IKLIM menghelat lokakarya bagi musisi yang berkolaborasi dalam inisiatif ini. 15 musisi/band dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul, berdiskusi memperdalam pemahaman isu lingkungan bersama para pakar iklim antara lain: @econusa.id @purpose @coaction.id @greenpeaceid @cerah_indonesiaku @thinkpolicyid @trend_asia @natgeoindonesia @sayapilihbumi Turut pula dipertajam barisan fasilitator yang berisikan para musisi yang terlibat pada lokakarya tahun sebelumnya yakni @faridstevy @cholil @endahwidiastuti @tuantigabelas @igamassardi @rizalhadimusic serta @novaruth Selama lima hari para musisi melebur bersama pakar iklim & fasilitator untuk membangun gagasan demi gagasan dalam menyikapi isu iklim yang terjadi. Melahap data dan statistik persoalan untuk mengelola upaya-upaya guna diracik menjadi sebuah karya yang menggerakkan solusi. “Musisi bukanlah mesin industri, karena sejatinya musik mampu menggiring dan membentuk opini. Sebagai sebuah media edukasi informal perubahan budaya.” Ujar @robinavicula penggagas gerakan IKLIM di malam perayaan inaugurasi. Inisiasi ini memvalidasikan bahwa inklusifitas adalah satu-satunya solusi guna mengatasi isu iklim. Dimana musik dan seni tentu memiliki peran yang kuat dalam mendorong perubahan sosial. Dengan lugas sebuah karya seni diyakini memiliki kekuatan gelombang sonik yang sanggup menuai resonansi yang berdampak. Memanifestasikan penggalan khutbah Eddie Vedder: “Music’s at its best when it has a purpose.” Foto oleh: @musicdeclares_indonesia
: Tak Ada Musik Di Planet Yang Mati! — Hari ini, populasi manusia di bumi yang mencapai 8,5 milyar jelas memberikan dampak signifikan terhadap kerentanan planet. Memunculkan beragam persoalan lingkungan secara global, termasuk di negeri ini. Sebuah urgensi yang menginspirasi lahirnya IKLIM, inisiasi kolektif aksi iklim yang menyatukan musisi, seniman, organisasi lingkungan, dan ahli iklim di Indonesia untuk merespon tantangan ini. Pada 1-5 Juli 2024 kemarin, IKLIM menghelat lokakarya bagi musisi yang berkolaborasi dalam inisiatif ini. 15 musisi/band dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul, berdiskusi memperdalam pemahaman isu lingkungan bersama para pakar iklim antara lain: @econusa.id @purpose @coaction.id @greenpeaceid @cerah_indonesiaku @thinkpolicyid @trend_asia @natgeoindonesia @sayapilihbumi Turut pula dipertajam barisan fasilitator yang berisikan para musisi yang terlibat pada lokakarya tahun sebelumnya yakni @faridstevy @cholil @endahwidiastuti @tuantigabelas @igamassardi @rizalhadimusic serta @novaruth Selama lima hari para musisi melebur bersama pakar iklim & fasilitator untuk membangun gagasan demi gagasan dalam menyikapi isu iklim yang terjadi. Melahap data dan statistik persoalan untuk mengelola upaya-upaya guna diracik menjadi sebuah karya yang menggerakkan solusi. “Musisi bukanlah mesin industri, karena sejatinya musik mampu menggiring dan membentuk opini. Sebagai sebuah media edukasi informal perubahan budaya.” Ujar @robinavicula penggagas gerakan IKLIM di malam perayaan inaugurasi. Inisiasi ini memvalidasikan bahwa inklusifitas adalah satu-satunya solusi guna mengatasi isu iklim. Dimana musik dan seni tentu memiliki peran yang kuat dalam mendorong perubahan sosial. Dengan lugas sebuah karya seni diyakini memiliki kekuatan gelombang sonik yang sanggup menuai resonansi yang berdampak. Memanifestasikan penggalan khutbah Eddie Vedder: “Music’s at its best when it has a purpose.” Foto oleh: @musicdeclares_indonesia
: Tak Ada Musik Di Planet Yang Mati! — Hari ini, populasi manusia di bumi yang mencapai 8,5 milyar jelas memberikan dampak signifikan terhadap kerentanan planet. Memunculkan beragam persoalan lingkungan secara global, termasuk di negeri ini. Sebuah urgensi yang menginspirasi lahirnya IKLIM, inisiasi kolektif aksi iklim yang menyatukan musisi, seniman, organisasi lingkungan, dan ahli iklim di Indonesia untuk merespon tantangan ini. Pada 1-5 Juli 2024 kemarin, IKLIM menghelat lokakarya bagi musisi yang berkolaborasi dalam inisiatif ini. 15 musisi/band dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul, berdiskusi memperdalam pemahaman isu lingkungan bersama para pakar iklim antara lain: @econusa.id @purpose @coaction.id @greenpeaceid @cerah_indonesiaku @thinkpolicyid @trend_asia @natgeoindonesia @sayapilihbumi Turut pula dipertajam barisan fasilitator yang berisikan para musisi yang terlibat pada lokakarya tahun sebelumnya yakni @faridstevy @cholil @endahwidiastuti @tuantigabelas @igamassardi @rizalhadimusic serta @novaruth Selama lima hari para musisi melebur bersama pakar iklim & fasilitator untuk membangun gagasan demi gagasan dalam menyikapi isu iklim yang terjadi. Melahap data dan statistik persoalan untuk mengelola upaya-upaya guna diracik menjadi sebuah karya yang menggerakkan solusi. “Musisi bukanlah mesin industri, karena sejatinya musik mampu menggiring dan membentuk opini. Sebagai sebuah media edukasi informal perubahan budaya.” Ujar @robinavicula penggagas gerakan IKLIM di malam perayaan inaugurasi. Inisiasi ini memvalidasikan bahwa inklusifitas adalah satu-satunya solusi guna mengatasi isu iklim. Dimana musik dan seni tentu memiliki peran yang kuat dalam mendorong perubahan sosial. Dengan lugas sebuah karya seni diyakini memiliki kekuatan gelombang sonik yang sanggup menuai resonansi yang berdampak. Memanifestasikan penggalan khutbah Eddie Vedder: “Music’s at its best when it has a purpose.” Foto oleh: @musicdeclares_indonesia